Kamis, 30 Agustus 2012

A Failure isn't a Doomsday

Guru masuk. Minggu lalu kami melaksanakan ulangan di pelajarannya yang pertama. Kali ini, beliau membawa satu pak kertas ulangan yang kemarin-kemarin kami kumpulkan. Tetapi sekarang ditambah dengan noda merah di setiap kertasnya. Ulangan kami telah di nilai.

Satu persatu nama-nama siswa di kelas kami dipanggil untuk diberikan hasil ulangannya.

"A, maju ke depan"
"B, maju ke depan"
"C, maju ke depan"

Selanjutnya aku yang maju ke depan.
Dengan keringat dingin yang terus menetes dari pelipis, kening, dan wajah yang pasi akibat beban memikirkan hasil ulangan yang tak karuan. Langkah serasa berat diambil. Pembuluh darah menyempit. Detak jantung menambah akselerasinya. Oksigen serasa kian tipis. Suhu kian meninggi dengan pertambahan seratus derajat celcius tiap detiknya.

Sekarang mataku saling bertatapan dengan guru itu. Tatapan beliau layaknya sebuah anak panah yang menusuk dadaku. Membuatku pengap. Bidikan matanya begitu mengerikan. Tepat ke dalam korneaku.
Beliau melirik kertas ulanganku, lalu mengomel dengan suara yang membuat hatiku begitu ciut layaknya balon yang kehilangan heliumnya.

"Apa-apaan kamu ini? Bukanya ibu sudah mengajarkan kelas ini tentang materi ini? Teman-temanmu aja banyak yang nilainya seratus, lah kamu? Kenapa cuma empat puluh?"

Tidaaaaaaaak!!!!! Tidaaaaaaak!!! Tidaaaaak!!!
Nilai merah! Memalukan! Merugikan! Tak tahu malu aku ini! Bodoh! Bodoh! Bodoh! Kiamat! Kiamat!

Aku langsung saja mengambil kertas ulanganku yang disodorkan kepadaku dengan tangan penuh ancaman, tangan guruku sendiri. Nilai merah, ahhhhh, mau jadi apa aku ini!
Aku melangkahkan kakiku untuk kembali ke bangkuku. Teman-teman bertanya.
"Hey dapat berapa?"
"Hey nilai berapa?"
"Kamu berapa? Saya cuma 90. Orang lain seratus."
"Kayaknya saya yang paling rendah. Poin saya cuma 85. Yang lain antara 90 sampai 100. Hufff."

Tidaaaaak!!! Tidaaaak!!! Aku yang paling rendah!!! Aku yang paling bodoh!!! Aku yang paling dungu!!!

Aku sampai di bangkuku, lalu duduk dengan mendung yang menaungi otakku. Rasanya bangku itu memiliki duri sehingga aku pun merasa sakit untuk mendudukinya. Teman-temanku seperti para raja dan ratu, dan akulah satu-satunya budak disana... Sekali lagi, Tidaaaaak!!!!

Hampir saja membanting meja lalu melemparkan seluruh alat tulisku ke arah mana saja, tak sengaja aku melihat bola lampu kelasku. Aku langsung teringat pada sang penemu, Thomas Alva Edison...
 
Sang penemu bola lampu itu awalnya merupakan anak yang bodoh. Mungkin lebih bodoh dariku. Dia langsung mendapatkan predikat bodoh dari gurunya. Sedangkan aku, mungkin tak secara langsung.

Dia di keluarkan dari sekolahnya karena sangat bodoh. Lah aku, nilai empat puluh gak mungkin dikeluarin kan? Terus Edison akhirnya belajar di rumah. Sosok ibu menjadi pengajarnya. Dia dengan bebas menikmati buku-buku ilmiah yang umunya dibaca oleh orang dewasa. Lalu dia memulai percobaan mandirinya di laboratorium pribadinya yang dibuatkan oleh sang ibu.

Ketika dia dewasa. Dia berhasil menciptakan sebuah alat yang pada zaman ini ditemui dimana-mana dan orang pasti mengomel ketika alatnya itu mati atau tidak ada, ya, bola lampu.
Tidak mudah Edison menciptakan bola lampu. Dia gagal sebanyak 9.998 kali. Dan dia berhasil menyalakan bola lampu pada percobaannya yang ke 9.999. Waw, aku pun baru satu kali ulangan tapi kok udah putus asa ya?

Penemuan patennya yang lain adalah Proyektor, Gramofon, dan masih banyak lagi. Totalnya ada 1.093 penemuan patennya.

Lalu mataku terlempar pada LKS PKn yang ada di atas meja. Langsung teringat, waduh PR belum selesai. Tapi ada ingatan yang lebih dominan, yaitu mengenai Abraham Lincoln.

Presiden Amerika Serikat ke-16 yang menjelaskan bahwa demokrasi itu ialah "dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat" memiliki masa kecil yang menyedihkan. Dia miskin. Dia hanya mengenyam pendidikan satu tahun di masa kecilnya. Tetapi dia sudah dapat membaca, menulis, dan menghitung.

Di usia ke 9, ibu Lincoln meninggal dunia.
Di masa dewasanya dia sempat menjadi seorang pengusaha, namun dia jatuh bangkrut.
Tahun 1835, istrinya meninggal dunia
Di usia ke-23, dia mencalonkan diri menjadi menjadi seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah daerah Illinois, namun gagal kembali.
Kembali menjadi seorang pengusaha, lagi-lagi bangkrut.
Usia ke-34 dia gagal menjadi anggota kongres
1856, gagal jadi wakil presiden
Usia ke-47 gagal lagi menjadi anggota senat
Dan di tahun 1860 pada usia 51, inilah klimaks dari pengorbanannya, dia menjadi Presiden Amerika Serikat yang dicintai rakyatnya. Sampai-sampai ada monumennya, Abraham Lincoln Memorial

Ternyata, orang-orang yang berpengaruh di dunia memulai kesuksesannya dari kegagalan. Ini sontak menyadarkanku, mengapa aku harus putus asa padahal kegagalanku belum ada apa-apanya dari kegagalan mereka?

Malah seharusnya kegagalanku ini dapat menjadi penyemangat bahwa aku harus belajar dan berusaha lebih keras.
Pengorbananku belum sekeras pengorbanan mereka.
Keringat dinginku tidak sedramatis keringat perjuangan mereka
Amarah dan beban mental yang aku rasakan tidak sekeras tekanan yang mereka rasakan di proses menuju kegemilangan.

Dan aku sadar, bahwa setiap kegagalan yang aku alami bukanlah sebuah kiamat yang memblokade jalur menuju kesuksesan.
Tetapi, setiap kegagalan yang aku alami adalah katalis yang memicu semangatku berkobar lebih membara daripada sebelumnya.
Kegagalan yang menjadi guru terbaik dalam pencapaian keberhasilan merupakan suatu enzim yang memecah kesulitan menjadai beberapa kemudahan yang dapat aku tangani.
Kegagalan yang merupakan pendobrak tembok ketidaktahuan yang menghalangi koridor-koridor yang berujung pada cahaya masa depan.

Ya! Aku tahu! Kegagalan tidak bisa menghentikanku!
Dengan refleks langsung saja aku naik ke atas meja lalu meninjukan kepalan tanganku ke langit dan berteriak,
"Walau nilai empat puluh, aku yakin aku akan menjadi orang sukses di masa depan!!"

Jelas semua orang yang berada di dalam ruangan kaget melihat tingkahku. Termasuk guru yang menyeramkan tadi. Beliau membalasku dengan teriakan,
"Apa-apan kamu ini?!!!!!"

"Maaf bu, kelepasan." singkat jawabku.

"Jenius adalah 1 % inspirasi dan 99 % keringat. Tidak ada yang dapat menggantikan kerja keras." - Thomas Alva Edison-


by Zuar
 
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar